Hari Minggu kemarin tanggal 3 November 2013, saya, istri, anak dan ibu mertua pergi ke Lembang untuk mengetahui Floating Market dan the Ranch. Perjalanan lumayan macet, kaki pegal-pegal sebelum sampai di Lembang. Ketika sampai di Lembang kita langsung ke Floating Market, kira-kira tiba di Floating Market jam 12.30 an. Perjalanan memakan waktu 2 jam ke Lembang.

Floating Market

Tiket masuk Rp 10.000,00/orang dan untuk anak di bawah 2 tahun gratis, plus parkir Rp 5.000,00. Tiket masuk tersebut dapat ditukar dengan minuman, walaupun kenyataannya minumannya kurang enak, seperti Milo kemungkinan air lebih banyak daripada Milonya sendiri, jadi rasanya hambar.

Setiba di dalam Floating Market tidak banyak tempat bermain. Paling saja tempat makan yang banyak dan tempat foto-foto, walapun ada larangan untuk menginjak rumput, tetap saja orang" menginjak rumput, foto-foto atau duduk.

Untuk pembelian di floating market nya sendiri harus membeli koin, koin senilai Rp 5.000,00, Rp 10.000,00 dan koin tersebut tidak dapat di-refund atau diuangkan kembali. Pintar juga sistem seperti ini.

Dengan banyaknya orang membuat kami kurang nyaman, apalagi bawa anak di bawah 2 tahun, tempat ramai, susah cari tempat duduk, dan jalan kecil. Akhirnya di sana kita hanya mencoba makanan dan kita melanjutkan perjalanan ke the Ranch.

Oh ya, perjalanan pulang nya membingungkan, jalannya jelek, dan ada Gepeng.

The Ranch

Walaupun pemilik Floating Market dan The Ranch adalah orang yang sama, saya lebih menyukai the Ranch karena banyak permainan. Jadi anak saya akhirnya mencoba naik kuda ditemani oleh tukang nya. Omong-omong anak saya baru berumur 1 tahun 3 bulan, dia sudah coba naik kuda 2 puteran. Dan dia sangat enjoy dengan itu.

Setelah naik kuda, kita coba hamster ball, saya dan anak saya berdua. Tapi anak saya takut di dalam, panas dan cukup terasa lama jadinya, katanya sih 5 menit, tapi sepertinya lebih. Anak saya bertahan sampai terakhir :).

Dari sana mencoba panahan, ini yang menarik. Saya dari dulu pengen mencoba panahan, dan ternyata ga mudah. Haha.. Kayaknya saya mo coba belajar panahan, nanti harus cari club nya untuk belajar :)

Pengalaman yang menarik dan menyenangkan, pulang juga macet, sampai di rumah jam 9 malam, sbelumnya makan di Raja Rasa. Sampai di rumah langsung tumbang. hehe :p
 
Beberapa hari ini saya membaca tentang startup, membuka pemikiran namun membuat hal yang skeptis maupun seharusnya optimis.

Waktu ke belakang ini banyak startup yang muncul, dari yang kecil sampai yang besar. Ada beberapa hal yang saya pelajari, secara garis besar saya membagi menjadi beberapa point.

Membangun bisnis

Ada perbedaan antara membangun bisnis dengan membangun website. Banyak orang yang mencetuskan ide di pikirannya dan serasa membuat website. Entah ide itu hanya untuk fun-fun saja atau tidak.

Akhirnya ketika membangun sebuah suatu website harus dipikirkan untuk monetizing (mendapatkan uang). Ada yang dari iklan, ada yang dari subscription, dan lain-lain.

Dan permasalahannya ketika ide adalah ide, kita sangat optimis dengan ide kita. Pada pelaksanaannya seringkali tidak seperti yang kita pikirkan. Contoh yang nyata saya dapat dari blog pemilik Otopedia, dia menceritakan awalnya ingin melakukan monetizing dari para pemasang iklan, dia beri harga Rp 500.000,00/bulan, namun ternyata tidak laku. Dia turunkan setengah harga, tetap tidak laku. Setelah itu akhirnya dia gratiskan, ternyata para pemilik dealer masih terlihat tidak membutuhkan, karena mereka tidak mau melakukan peng-upload-an sendiri, foto sendiri, semua bisa dilakukan oleh tim Otopedia.

Jadi sebenarnya tidak mudah untuk menjalankan bisnis itu.

Monetizing & Exit Strategy

Jadi kita harus benar-benar memikirkan strategy yang tepat untuk monetizing nya, dan juga harus memikirkan keluarnya bisnis kita mau bagaimana, apakah butuh VC, dijual ataupun IPO.

Saya sendiri ingin sekali memiliki startup, lagi memikirkan ide-ide apa aja yang bisa diimplementasikan. Semoga suatu saat nanti saya benar-benar memilikinya :).
 
Pasport – Jawapos 8 Agustus 2011
Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa
orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya
sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah
naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah
pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah
pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR
dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi
tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki “surat ijin
memasuki dunia global.”. Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet,
terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu
kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan,
pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia,
Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu
dan bisa dijangkau.
“Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?”
Saya katakan saya tidak tahu. *Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang
bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi
kehidupan dan tujuannya dari uang. *Dan begitu seorang pemula bertanya
uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir
pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga
para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah
melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas
kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut
sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri.
Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju.
Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan,
teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para
pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok
backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah,
menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang
bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka
sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis,
yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang
yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh,
bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah
rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima
Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang
dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko,
menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut
kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan
menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain
kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat
teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi
eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.

The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel
ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari
Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk
dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin
masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan
miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak
pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket
pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi
para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima
ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis
melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada
di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan
memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas
Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat
minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus
Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka
perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia
ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf
tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti
menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah
punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi,
jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun
kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka
anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki
daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit.
Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita,
gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki
pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport
pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di
Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe
yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya
mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus
Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

    Penulis

    Rudy Murmur
    C#.NET Developer (saat ini)

    Personal
    Seorang suami dan ayah dari seorang anak

    Pekerjaan
    Lebih dari 10 tahun bekerja di bidang IT.

    Diawali dari membuat beberapa Aplikasi dengan menggunakan Borland Delphi 6/7 dan database Oracle, PostgreSQL dan Ms. Access.

    Hobby
    Saat ini tertarik untuk melakukan kegiatan yang menyehatkan badan dan belajar membangun sebuah website.

    Kegiatan di luar jam kerja
    1. Menjual Strawberry Organik
    2. Family Man
    3. Olahraga pagi
    4. Belajar Symfony2

    Archives

    November 2013
    October 2013

    Categories

    All
    Family Weekend
    Filosofi
    Inspirasi
    Pemikiran
    Pengembangan Diri
    Website